Selasa, 12 Mei 2009

Sifat yang Terpuji Menurut Al-Qur`an

Sifat yang Terpuji Menurut Al-Qur`an


Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan mereka yang tak ter¬tan¬ding¬i dan upaya yang tak pernah goyah untuk mendapatkan rid¬ha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah, se¬perti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan ba¬nyak lagi kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al¬-Qur`an. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, ka¬sih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati, pe¬nye¬rah¬an diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucap¬an tak berguna.
Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman mo¬del ini, Al-Qur`an juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang beriman pada masa dahulu dan bercerita kepada ki¬ta ba¬gaimana mereka berdo’a, berperilaku, berbicara, baik di kalangan mereka sendiri maupun dengan orang-orang lain di luar mereka, dan dalam menanggapi berbagai peristiwa. Me¬lalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian kita kepada sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.
Titik pandang sebuah masyarakat yang jauh da¬ri moralitas Al-Qur`an (masyarakat jahiliyah) terhadap ting¬kah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja ber¬ubah, sesuai de¬¬ngan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang ko¬koh berpegang pada ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi, waktu, dan tem¬pat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh ke¬pa¬¬da perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia men¬c¬er¬¬minkan akhlaq terpuji.
Pada bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh pe¬rilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas pe¬¬¬rilaku terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami hanya memfo¬kus¬kan perhatian pada moralitas terpuji yang masih ter¬se¬lu¬bung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.

Konsep Kesucian
Allah menyeru orang-orang beriman supaya membersihkan (me¬nyucikan) diri mereka, yang sesuai dengan fitrah jiwa me¬reka dan sunnah alam. Kesucian dianggap sebagai satu bentuk lain dari ibadah orang beriman dan, dengan begitu, merupakan sa¬tu sumber kelapangan dan kesenangan yang besar bagi me¬re¬ka sendiri. Di dalam banyak ayat, Allah memerintah¬kan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa dan ra¬ga. Nabi kita saw. juga menekankan pentingnya memelihara kesucian,
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR Muslim)
Di bawah ini ada sejumlah rincian berkaitan dengan keber¬sihan.
1. Kesucian Jiwa
Pengertian qur`ani tentang kesucian berbeda makna dengan yang dipahami oleh masyarakat awam. Menurut Al-Qur`an, su¬ci adalah keadaan yang dialami dalam jiwa seseorang. De¬mikianlah, kesucian berarti seseorang telah sama sekali mem¬¬bersihkan dirinya dan nilai-nilai moral masyarakatnya, ben¬tuk pola pikirnya, dan gaya hidup yang bertentangan de¬ngan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an menganugerahkan ke¬¬te¬nangan jiwa kepada orang-orang beriman.
Tahap awal dari keadaan suci ini berwujud dalam pemikir¬an. Tak diragukan lagi, ini merupakan satu kualitas ter¬pen¬ting. Kesucian jiwa yang dialami manusia tersebut akan ter¬¬pan¬¬car dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, mo¬ral terpuji orang tersebut akan nyata bagi siapa saja.
Manusia yang berjiwa suci akan menjauhkan pikirannya da¬ri segala bentuk kebatilan. Mereka tidak pernah berniat me¬nyakiti, cemburu, kejam, dan mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan tercela yang diserap dan di¬tampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep moral Al-Qur`an. Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, kare¬na mereka merindukan moral terpuji. Inilah sebabnya, terle¬pas dari penampilan ragawi, orang-orang beriman pun me¬na¬ruh perhatian besar pada penyucian jiwa mereka—dengan cara men¬¬jauhi semua keburukan yang muncul dari kelalaian—dan mengajak orang lain untuk mengikuti hal yang serupa.

2. Kesucian Ragawi
Di dunia ini, orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan yang mirip dengan surga. Di dunia ini, mere¬ka ingin menikmati segala sesuatu yang akan Allah anuge¬rah¬kan kepada mereka di surga. Sebagaimana kita pahami dari Al-Qur`an, kesucian ragawi merupakan salah satu dari kua¬li¬tas-kualitas yang dimiliki manusia surga. Ayat yang ber¬bu¬nyi, “... anak anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan,” (ath-Thuur [52]: 24) sudah otomatis menjelaskan hal itu. Sebagai tambahan, Al¬lah menginformasikan kepada kita dalam banyak ayat la¬in¬nya, bahwa di surga tersedia, “pasangan-pasangan hidup yang se¬nan¬tiasa suci sempurna.” (al-Baqarah [2]: 25)
Di ayat lain, Allah menekankan perhatian pada ke¬su¬ci¬an raga adalah yang merujuk pada Nabi Yahya a.s., “Kami anugerah¬kan kepadanya... kesucian dari Kami.” (Maryam [19]: 12-13)

3. Pakaian yang Bersih
Al-Qur`an juga merujuk pada pentingnya pakaian bersih, se¬perti dalam ayat, “Dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah.” (al-Muddatstsir [74]: 4-5)
Lebih jauh, kebersihan ragawi adalah hal yang penting, sebab hal ini me¬nun¬jukkan penghargaan seseorang kepada orang lain. Se¬sung¬guh¬nya, penghormatan pada orang lain mensya¬ratkan pemeliharaan tampilan fisik seseorang. Orang-orang beriman bukan sekadar menghindari kotoran, tapi juga mem¬¬berikan kesan rapi yang tak mencolok yang memperjelas besarnya rasa hormat mereka kepada orang lain. Salah satu cara untuk menunjukkan rasa hormat adalah memakai pakaian ber¬sih. Melalui Al-Qur`an, Allah memerintahkan kepada kita,

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid....” (al-A’raaf [7]: 31)

Dalam pemahaman ini, menjaga kebersihan raga dan kerapi¬an serta mengupayakan yang terbaik dalam berbagai hal, me¬rupakan kualitas yang disenangi Allah. Kualitas-kualitas se¬macam ini tidak diutamakan oleh orang-orang yang bodoh. Nabi kita saw. juga mempertegas pengesahan Allah akan kua¬li¬tas-kualitas seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam ha¬dits,
“Seseorang bertanya, ‘Bagaimana tentang seseorang yang suka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah-indah?’ Ra¬sulullah menjawab, ‘Semua ciptaan Allah adalah indah dan Dia menyukai keindahan.’” (HR Muslim)
Kita harus memperhatikan hal berikut ini. Umumnya, seti¬¬ap orang cenderung untuk berupaya sebaik mungkin memberi¬kan kesan terhadap sesuatu yang mereka anggap penting pada se¬ti¬ap pertemuan dengan orang lain. Demikian halnya orang ber¬iman, se¬su¬ai moralitas yang dikehendaki Al-Qur`an, me¬re¬ka tampak sa¬ngat mementingkan kerapian dengan segenap ke¬te¬li¬¬tiannya de¬ngan tujuan untuk menyenangkan Allah.
Orang beriman memang layak mendapatkan surga dan, di du¬nia ini, mereka terikat untuk selalu berupaya menjaga diri dan lingkungannya agar tetap bersih, sehingga mereka bi¬sa mendapatkan kesucian dan keindahan surga di dunia ini.

4. Memelihara Kebersihan Lingkungan
Umat Islam sangat berhati-hati dalam menjaga lingkungan terdekat mereka agar tetap bersih. Satu contoh tentang itu disebutkan dalam surah al-Hajj. Allah memerintah¬¬kan Na¬bi Ibrahim a.s. untuk memelihara Ka’bah agar tetap bersih un¬¬tuk orang-orang beriman yang berdo’a di sekitar tempat itu,

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Jangan¬lah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan su¬cikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ru¬ku dan sujud.’” (al-Hajj [22]: 26)

Sebagaimana dikehendaki ayat tersebut, kebersihan ling¬¬kungan tem¬pat suci yang sejenis (mushala, masjid, majelis taklim, Ed.) harus dipelihara, terutama sekali bagi orang-orang beriman lainnya yang hendak menunaikan ibadah un¬tuk mendapatkan ridha Allah. Karena itu, semua orang beriman yang mengikuti langkah Ibrahim a.s. harus menjaga tem¬pat tinggal mereka agar tetap bersih dan rapi, sebab hal itu dapat menyenangkan hati mereka.
Konsep qur`ani tentang kebersihan jelas berbeda dengan pe¬mahaman orang-orang yang tidak beriman. Allah memerintahkan orang-orang beriman supaya “bersih dan suci” baik lahir mau¬pun batin. Dengan kata lain, hal ini bukanlah bersih da¬lam pengertian klasik atau kuno, melainkan sebuah upaya ber¬kesinambungan.
Menurut kaidah ini, penggambaran Al-Qur`an tentang kehi¬dupan di surga juga bersifat perintah. Lingkungan surga su¬dah dibersihkan dari segala bentuk kotoran yang dapat kita li¬hat di sekitar kita. Surga adalah sebuah tempat yang pe¬nuh dengan kebahagiaan, dengan kebersihan yang sempurna. Tiap detail yang terwujud di sana berada dalam keserasian yang sempurna dengan setiap detail lainnya. Dalam cahaya ilus¬trasi seperti ini, insan beriman senantiasa harus berupa¬ya menjaga lingkungan mereka agar bersih dan mengalihkan ke¬nangan mereka pada tempat-tempat yang mengingatkan mereka ke¬pada surga.

5. Memakan Makanan yang Bersih
Mengonsumsi pangan bersih adalah satu perintah Ila¬hi¬ah yang harus selalu ada dalam kalbu semua makhluk beriman,

“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, melainkan mereka menganiaya diri mereka sendiri.” (al-Baqarah [2]: 57)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dan apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu meng¬¬ikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya se¬tan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah [2]: 168)

Sebagai tambahan, Allah memasukkan dalam hitungan kelom¬pok As-habul Kahfi untuk menunjukkan bahwa orang-orang ber¬¬iman cen¬derung kepada makanan bersih. Sebagaimana dapat kita baca,

“…Seorang di antara mereka berkata, ‘Tuhan kamu lebih me¬ngetahui berapa lama kamu sudah berada di sini. Utus¬lah salah seorang dari kamu ke kota dengan uang pe¬rakmu ini, agar dia bisa melihat makanan mana yang le¬bih baik, dan membawakan makanan itu untukmu….” (al-Kahfi [18]: 19)

Kita akan kembali ke topik ini pada bab lain dalam judul, “Makanan Bermanfaat yang Disebut di Dalam Al-Qur`an”.

Berlatih, Berenang, dan Air Minum
Perilaku lain yang disebutkan dalam Al-Qur`an tercantum di dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan ungkapan Nabi Ayyub a.s.,

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tu¬hannya, ‘Sesungguhnya, aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’(Allah berfirman) ‘Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.’” (Shaad [38]: 41-42)

Dalam menanggapi keluhan kesulitan dan penderitaan, Allah menasihati Nabi Ayyub a.s. supaya “menghentakkan kaki”. Nasihat itu dapat dianggap satu pertanda yang berkena¬an dengan manfaat kegiatan olahraga dan berlatih.
Berlatih, khususnya melatih otot-otot panjang seperti ter¬dapat pada otot-otot kaki (sebagai contoh: gerakan-gerak¬an isometrik), melancarkan aliran darah dan, karena itu, me¬ningkatkan volume oksigen untuk masuk ke sel-sel tubuh. Se¬lain itu, berlatih me¬ngurangi elemen-elemen racun dari tu¬buh yang dapat melenyapkan penat, memberikan rasa lega dan kesegaran, dan memberikan kemampuan pada tubuh untuk mem¬perbesar resistensi terhadap mikroba. Latihan teratur ju¬ga menjaga urat-urat darah tetap bersih dan lebar, yang, dengan kondisi demikian, dapat mencegah: 1)penggumpalan pada urat-urat dan menurunkan risiko penyakit koroner arteri dan 2) mengurangi risiko diabetes dengan mempertahankan kadar gu¬la darah pada taraf tertentu dan meningkatkan jumlah ko¬les¬¬terol yang aman di dalam liver. Di samping itu, meng¬hen¬tak¬¬kan kaki ke tanah merupakan cara paling efektif untuk 3) me¬lepaskan arus listrik statis yang sudah menumpuk di dalam tu¬buh, yang kerap mengakibatkan badan kaku.
Sebagai tambahan, sebagaimana disebutkan ayat di atas, mandi diakui merupakan metode paling ampuh untuk menghilang¬kan kebekuan arus listrik di tubuh. Ia juga melenyapkan ke¬tegangan dan kerumitan pikiran, serta membersihkan badan. Karena itu, mandi merupakan satu penyembuhan efektif untuk stres dan banyak ketidakteraturan (gangguan) fungsi fisik dan ke¬ji¬wa¬an.
Ayat tadi juga menarik perhatian kita pada manfaat-man¬faat tak terhingga dari air minum. Hampir setiap fungsi ja¬ringan tubuh dipantau dan dikendalikan agar menyerap air se¬cara efisien melalui jalur pendistribusian. Fungsi-fungsi da¬ri banyak organ tubuh (misalnya otak, kelenjar peluh, perut, usus, ginjal, dan kulit) sangat bergantung pada kecukupan distribusi air. Memastikan bahwa tubuh mendapat ja¬¬tah air yang cukup tidak saja membuat tubuh berfungsi lebih berdaya guna, bahkan mungkin menolong seseorang terhin¬dar dari beragam masalah kesehatan. Peningkatan taraf kon¬sum¬si air telah terbukti membantu mengurangi berbagai ke¬luh¬an sakit kepala (migren, kolesterol darah ting¬gi, sakit sa¬luran rheumatoid penyebab rematik, dan tekanan darah ting¬gi. Sebagai tambahan pada beragam manfaat tersebut, air ju¬ga menghilangkan letih dan kantuk, sebab serapan air yang ter¬atur dan mencukupi membantu menghilangkan anasir ra¬cun dari tubuh.
Menaati semua anjuran ini, yang semuanya penting dan vi¬tal bagi kesehatan raga dan mental kita, insya Allah akan mem¬buahkan hasil terbaik.

Berjalan Kaki
Orang-orang congkak mengira sikap angkuh bisa menimbul¬kan rasa kagum manusia lain. Dan, dengan begitu, secara ber¬lebih-lebihan, mereka memamerkan gaya berjalan, ber¬bi¬ca¬ra, dan memandang dengan penuh sikap sombong. Tanda-tanda aro¬¬gansi semacam itu tampak nyata dari gaya berjalan se¬se¬orang.
Ayat-ayat yang merujuk kepada nasihat bijak Luq¬man kepada putra beliau mengungkapkan secara gamblang keangkuhan sikap dan penampilan seseorang,

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (ka¬rena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Luqman [31]: 18)

Dalam ayat lain, orang-orang beriman dianjurkan untuk ti¬dak berjalan dengan sikap angkuh,

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan som¬bong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak da¬¬pat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sam¬¬pai setinggi gunung.” (al-Israa` [17]: 37)

Dengan ayat-ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bah¬wa Dia tidak menyukai mereka yang sombong dan memperingat¬kan kita agar menjauhi sikap seperti itu. Kita harus se¬nantiasa ingat bahwa kesombongan setan, yang tampak dari tun¬tutannya bahwa dia lebih tinggi dari makhluk-makhluk la¬in¬nya ciptaan Allah, yang menyebabkan dia tersingkir dari ha¬dapan Allah. Orang beriman yang sadar akan keburukan kua¬li¬tas-kualitas seperti ini tentu saja menjauhi semua itu.
Tak seorang pun yang senang berada di sekitar orang som¬bong. Siapa pula yang merasa nikmat berdampingan dengan orang-orang semacam itu? Umumnya setiap orang mengetahui bahwa orang-orang angkuh dan merasa diri lebih tinggi derajat¬nya, dalam kenyataannya, tak lebih dari manusia biasa yang penuh dengan beragam ketidaksempurnaan dan kelemahan-ke¬lemahan. Akibatnya, orang sombong, meskipun menderita oleh keangkuhan dirinya sendiri, takkan pernah mencapai tu¬ju¬an untuk menikmati prestise di kalangan manusia lain di se¬kitarnya dan sering tercekam dalam kehinaan.
Al-Qur`an juga menekankan perhatian kita kepada kenyata¬an bahwa orang-orang beriman harus memiliki sikap ber¬ja¬lan yang tidak berlebih-lebihan atau mengada-ada, seba¬gai¬ma¬na yang disebutkan dalam ayat, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan....” (Luqman [31]: 19) Di dalam mematuhi perintah Allah, manusia yang sederhana akan berjalan dengan si¬kap sederhana, dan dengan demikian meraih kemuliaan dalam pan¬dangan Allah dan orang-orang beriman seluruhnya.
Intonasi Suara
Tinggi-rendahnya (intonasi) suara adalah bagian penting dari ung¬kap¬an perasaan positif seseorang. Bagaimana se¬orang meng¬gu¬na¬kan intonasi mencerminkan kualitas orang bersangkutan. Bahkan, suara merdu sekalipun dapat menyakiti ji¬ka diartikulasikan dengan tidak sepatutnya. Allah menasiha¬ti hamba-hamba-Nya melalui ucapan Luqman,

“... lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk su¬ara ialah suara keledai.” (Luqman [31]: 19)

Seseorang yang bi¬¬ca¬ra dalam suara keras atau menghardik orang lain tidak akan memberi kesan menyenangkan pada pi¬hak lain. Di samping itu, pada kebanyakan kasus, hal se¬per¬ti ini terasa tak tertahankan, seperti mendengarkan ra¬ung¬an keledai.
Dengan kata lain, cara orang bicara adalah hal yang pen¬ting. Suara orang yang sedang dirundung berang mungkin ter¬dengar tak mengenakkan, meskipun suara lelaki atau perem¬puan itu, dalam suasana normal, mungkin terasa sedap ditelinga. Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan lantunan suara tak sedap bisa saja terdengar lebih merdu kalau meng¬ikuti nilai-nilai terpuji dari Al-Qur`an. Suara merdu, di pihak lain, mungkin saja terkesan menyerang dan tak ter¬ta¬hankan, jika orang itu angkuh dan berkesan menyakitkan. Karena suara orang tersebut, yang merupakan pantulan sifat ne¬gatif diri, baik lelaki atau perempuan, cenderung ber¬ke¬luh kesah dan menghasut.
Sebagaimana halnya suara, mereka yang berakhlaq mulia selalu me¬mi¬liki sifat rendah hati, santun, bersahaja, damai, dan kon¬struktif. Dengan sudut pandang positif dalam ke¬hidupan, mereka selalu ceria, bersemangat, cerah, dan gembira. Sifat sempurna ini, yang timbul dari kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti dijelaskan dalam Al-Qur`an, termanifestasikan dalam lantun suara seseorang.

Luhur Budi
Al-Qur`an menginformasikan kepada kita bahwa manusia beriman pa¬da kenyataannya adalah orang-orang yang sangat bermurah ha¬ti. Akan tetapi, konsep Al-Qur`an tentang akhlaq mulia agak berbeda da¬¬ri yang secara umum ditemukan dalam masyarakat. Manusia me¬warisi sifat santun dari keluarga mereka atau menyerapnya dari lingkungan masyarakat sekitar. Akan tetepi, pengertian ini ber¬¬beda dari satu strata ke strata lain. Wujud keluhuran bu¬di yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau ba¬gai¬ma¬na¬pun, me¬le¬bihi dan di atas nilai dari pemahaman mana pun, ka¬rena ia tidak a¬kan pernah berubah, baik oleh keadaan mau¬pun manusia. Mereka yang menyerap unsur akhlaq mulia, se¬ba¬gai¬ma¬na pandangan Al-Qur`an, memandang setiap manusia se¬ba¬gai hamba-hamba Allah, dan karena itu memperlakukan mereka de¬ngan segala kebaikan, walaupun tabiat mereka mungkin saja ti¬dak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi pe¬nyim¬pang¬¬an dan tingkah laku yang tidak patut, teguh dalam pen¬di¬rian, bahwa berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih sayang Allah, sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadits,
“Allah itu baik dan menyukai kebaikan dalam segala hal.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana ditunjukkan ayat berikut, Allah mendorong ma¬nusia supaya berbuat baik dan santun kepada orang lain,

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari bani Is¬rael, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan ber¬buat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah ka¬ta-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kamu selalu berpaling.” (al-Baqarah [2]:83)

Al-Qur`an menghendaki kebaikan kemutlakan. Dengan ka¬ta lain, manusia beriman tidak boleh berpaling dari perilaku ba¬ik, sekalipun kondisi lingkungannya tampak menginginkan ke¬¬burukan dan ketidaksenangan. Kelemahan fisik, kehabisan te¬na¬ga, atau kesukaran tidak akan pernah menghalangi mereka da¬¬ri keajekan mereka dalam kebaikan. Sementara itu, tak peduli mereka kaya atau miskin, menikmati kedudukan gemerlap atawa jadi orang dalam bui, manusia beriman memper¬la¬kukan setiap orang dengan baik, karena mereka sadar bahwa Nabi kita saw. menegaskan pentingnya tiap orang beriman untuk berbuat demikian, sebagaimana tersebut dalam hadits, “Manakala kebaikan ditambahkan pada sesuatu, itu akan mem¬perindahnya; apabila kebaikan ditarik keluar dari se¬suatu, itu akan meninggalkan cacat.”(HR Muslim). Mo¬ral¬itas agung ini diperkuat dalam ayat berikut, sebagaimana sudah diutarakan dalam bagian sebelumnya,

“... berbuat baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah kata kata yang baik kepada manusia....” (al-Baqarah [2]: 83)

Orang-orang beriman juga harus sangat berhati-hati ter¬¬hadap cara mereka memperlakukan orang tua mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan supaya mereka diperlakukan dengan segala kebaikan,

“Dan Tuhanmu telah perintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pa¬da ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai ber¬umur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali ja¬ngan¬lah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah ke¬pa¬da mereka perkataan yang mulia.” (al-Israa` [17]: 23)

Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan pentingnya meng¬hormati orang tua. Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan da¬ri keluarganya, untuk waktu lama, karena saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke dalam sebuah sumur. Tak lama ke¬mu¬di¬an, beliau ditemukan oleh satu rombongan pedagang yang mem¬ba¬wanya ke Mesir dan menjualnya sebagai budak. Kemudian, ka¬rena dakwaan palsu, dia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan dibebaskan, hanya berkat pertolongan Allah, untuk diangkat menjadi bendahara kerajaan Mesir. Ke¬mu¬di¬an, setelah semua ini, beliau memindahkan seluruh ke¬lu¬ar¬ga¬nya dari Madyan ke Mesir dan menyambut mereka seperti ter¬lukis dalam ayat berikut,

“Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merang¬kul ibu bapaknya dan dia berkata, ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ Dan dia naikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana….” (Yusuf [12]: 99-100)

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Nabi Yusuf a.s., ter¬lepas dari status terhormatnya, berperilaku yang luar biasa santun kepada kedua orang tuanya. Mengangkat keduanya ke atas singgasana, menandakan hormat dan cintanya kepada ke¬duanya, dan juga menunjukkan akhlaqnya nan mulia.

Ramah Tamah
Bagi umat beriman, yang mengikuti moralitas Al-Qur`an, me¬muliakan tamu mereka merupakan wujud kepatuhan pada salah sa¬tu perintah Allah serta satu kesempatan untuk mengaplikasi¬kan moralitas yang tinggi. Sebab itulah, hamba-hamba ber¬iman menyambut tamu-tamu mereka dengan penuh takzim.
Di dalam masyarakat yang tidak beriman, orang umumnya meng¬anggap tamu sebagai satu beban, baik dari sudut material maupun spiritual, karena mereka tidak dapat melihat ke¬ja¬di¬an-kejadian semacam itu sebagai kesempatan untuk men¬da¬pat¬kan kesenangan Allah dan memperagakan akhlaq mulia. Se¬ba¬liknya, orang yang tidak beriman beranggapan bahwa santun dan sopan pada tamu tak lebih dari merupakan keharusan ke¬ma¬s¬yarakatan. Hanya karena mengharapkan suatu imbalan ke¬ber¬untunganlah yang menggugah mereka untuk ramah dan santun pada tamu.
Al-Qur`an secara khusus menekankan perhatian agar manusia ber¬iman menunjukkan akhlaq mulia kepada tamu. Sebelum yang lain-lainnya, manusia beriman menyuguhkan hormat, cinta, da¬mai dan santun kepada setiap tamu. Sambutan biasanya di¬da¬¬sarkan pada mempersiapkan tempat dan kebutuhan-kebutuhan la¬in¬nya, yang tanpa ungkapan hormat, cinta, dan damai, ti¬dak bakal menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat berikut, Allah mempertegas betapa Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun selain itu,

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (an-Nisaa` [4]: 86)

Sebagaimana tersurat dalam ayat di atas, moralitas qur`ani mendorong ma¬nu¬sia beriman agar berlomba-lomba dalam amal kebaikan, wa¬lau sekadar perbuatan biasa seperti menyam¬but tamu, sebagai sa¬tu sikap yang sudah dicontohkan di sini.
Al-Qur`an juga menginginkan kita memperlakukan tamu agar mereka merasa nyaman dengan menanyakan apa saja keperluan mereka, dan memenuhinya, sebelum sang tamu mengutarakannya. Cara Nabi Ibrahim a.s. melayani tamu beliau merupakan satu contoh bagus tentang ini dan merupakan peragaan satu wujud penting dari keramahtamahan,

“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan? Ingatlah ketika mereka masuk ke tem¬patnya lalu mengucapkan ‘Salamun!’; Ibrahim menja¬wab ‘salaman’, kalian adalah orang-orang tidak di¬ke¬nal. Maka dia pergi secara diam-diam menemui keluar¬ga¬nya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang di¬bakar), lalu dihidangkan kepada mereka (tetapi me¬re¬ka tidak mau makan).” (adz-Dzaariyaat [51]: 24-27)

Satu hal penting dari ayat-ayat ini yang menarik perha¬tian kita: akan lebih baik kita lebih dulu menanyakan keperluan tamu, laki atau perempuan, sebelum dia memintanya, karena tamu yang sopan biasanya menunda-nunda me¬nge¬mu¬ka¬¬kan keper¬lu¬an¬nya. Di luar dari pemikirannya, tamu semacam ini bahkan mencoba menolak apa yang mungkin ditawarkan tu¬an¬/nyonya rumah. Bila ditanya apakah dia memerlukan se¬suatu, sang tamu mungkin akan menjawab “tidak” dan ber¬te¬ri¬ma kasih atas tawaran tersebut. Untuk alasan seperti itu, moral qur`ani akan memikirkan sejak awal tentang apa saja yang mungkin diperlukan tamunya.
Perilaku lain yang disukai berkenaan dengan hal ini ada¬¬¬lah menawarkan bantuan tanpa menunda-nunda. Di atas sega¬lanya, perilaku seperti ini mengedepankan rasa senang tu¬an ru¬¬mah bila tamu merasa bahagia berada di sana. Sebagai¬ma¬na disebutkan ayat tadi, menawarkan sesuatu “dengan se¬ge¬ra” mengungkap kemauan tulus tuan/nyonya rumah untuk me¬la¬yani tamunya.
Tingkah laku mulia lainnya yang dapat dipetik dari ayat-ayat tadi adalah walaupun Nabi Ibrahim a.s. belum pernah kedatangan tamu sebelumnya, dia berupaya keras untuk me¬¬¬¬la¬yani mereka sebaik mungkin dan bersegera menyuguhkan da¬ging bakar “anak sapi gemuk”, sejenis daging yang terkenal sangat sedap rasanya, sehat dan bergizi. Dus, bisa kita tam¬bahkan bahwa selain dari mencukupi layanan-layanan yang te¬lah disebutkan, tuan/nyonya rumah harus pula mempersi¬ap¬kan dan menawarkan makanan kualitas prima, enak, dan segar.
Di luar semua ini, Allah juga menekankan perhatian akan daging yang hendak disajikan untuk tamu.



Konsep Kebijaksanaan Pilihan di Dalam Al-Qur`an


Al-Qur`an selalu menekankan konsep kebijaksanaan. Kuali¬tas ini dikhususkan untuk orang-orang beriman. Namun, ma¬nu¬sia menggunakan istilah-istilah bijaksana dan cerdik itu bertukar-balik. Oleh sebab itu, per¬¬bedaan makna di antara kedua kata tersebut selalu membingungkan, dengan ang¬gap¬an, yang tentu saja keliru, bahwa orang cerdik dengan sen¬di¬ri¬nya bi¬jak¬sana. Bijaksana, bagaimanapun, adalah memahami bah¬wa Allah hanya meridhai insan-insan beriman. Itu berarti memberdayakan manusia untuk menganalisis dan memahami hal yang dikemukakan ini secara tepat agar mereka mengenal hu¬kum alam sebenarnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah de¬ngan setepat-tepatnya. Berbeda dengan pengertian awam, bi¬jak¬sana tak ada kaitannya dengan kepintaran seseorang; bah¬kan itu merupakan hasil dari keteguhan keyakinan se¬se¬orang. Dalam banyak ayat, Allah merujuk pada orang-orang tidak beriman sebagai “manusia tanpa kebijaksanaan”.
Kepintaran seseorang tampak dari reaksi seseorang saat meng¬hadapi kejadian tak terduga dan situasi runyam. Dibanding¬kan dengan reaksi dari mereka yang tidak punya pema¬ham¬an mendalam tentang adanya Allah, dan karena itu disebut tidak punya wisdom (kebijaksanaan), dengan mereka yang memiliki keyakinan kuat, tampak perbedaan kadar kebijak¬sa¬na¬an masing masing kelompok itu. Bila dihadapkan pada ke¬ja¬di¬an-kejadian mendadak, manusia beriman tetap bersikap mo¬de¬rat dan menggunakan kebijakan mereka untuk mendapatkan pe¬mecahan serta-merta dan tak sia-sia, terlepas dari ke¬ru¬mit¬an situasi. Pendirian bijaksana semacam itu merupakan ha¬sil dari pemahaman mereka pada Al-Qur`an, yang Allah ung¬kap¬kan sebagai satu “kriteria dari pertimbangan antara be¬nar dan salah” dan hidup mengikuti perintahnya.
Setiap orang dapat merancang beragam pola pemecahan ma¬¬salah bila dihadapkan pada situasi yang menghendaki kewas¬padaan dan kebijakan. Dan, dengan begitu mereka dapat mencegah kerugian. Namun, tidak ada solusi yang sepasti dan seabadi daripada apa yang diberikan oleh Al-Qur`an, karena berasal dari Allah, yang Maha Mengetahui. Orang beriman yang bertawakal pada Al-Qur`an dan telah dengan kokoh menggenggam “semua petuah ayat-ayatnya,” tentu mendapatkan beragam hasil yang diharapkan dalam segala urusan mereka.
Dalam bab berikut, kita akan menyoroti berbagai hal tentang tindakan-tindakan bijak arahan Al-Qur`an yang diran¬cang untuk membimbing orang-orang beriman.

Menganalisis Berbagai Tahapan
Kemungkinan dalam Perkembang¬an
Adanya kemampuan untuk memikirkan secara menyeluruh se¬belum mengawali suatu tugas, menaksir-naksir tahapan-tahap¬an kemungkinan menjelang pelaksanaannya, memperhitungkan ke¬mungkinan beragam situasi dan akibatnya yang dapat ter¬ja¬di merupakan tanda-tanda signifikan dari kebijaksanaan. Orang yang tidak bijaksana gagal mempertimbangkan hal-hal ter¬¬selubung ini dan abai mempertimbangkan pro-kontra se¬be¬lum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Ke¬te¬le¬doran sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.
Metode Nabi Ibrahim a.s. dalam menyebarkan wahyu Allah ke¬pada kaumnya dapat dijadikan teladan uniknya kemampuan ber¬pikir menakjubkan dari orang beriman. Kaumnya, yang penyem¬bah berhala batu pahatan, bersikeras pada kepercayaan se¬sat mereka, memuja patung, meskipun tidak se¬utuh¬nya mereka yakin akan kebenarannya. Sebab itu, Nabi Ibrahim a.s. me¬mutuskan untuk menggunakan metode lain dan menyiapkan sa¬tu rencana tahapan tindakan berkelanjutan.
Dalam rangka membuktikan kepada kaumnya, bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak bermakna selain dari ke¬ping¬an-kepingan batu belaka, beliau memutuskan untuk meng¬han¬curkan berhala-berhala tersebut. Tapi sebelum rencana di¬laksanakan, dia telusuri metode bijaksana yang paling te¬pat, dengan lebih dulu memastikan tidak ada seorang pun yang melihat perbuatannya. Metode itu tergambar dalam ayat berikut,

“Dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya, aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membelakang.” (ash-Shaaffat [37]: 89-90)

Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah ayat, segera se¬¬telah beliau sampaikan bahwa dirinya sakit, orang-orang di sekelilingnya meninggalkan tempat itu dan membiarkan dia sen¬dirian bersama berhala-berhala itu. Kisah selanjutnya adalah sebagai berikut.

“’Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya ter¬hadap berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkan¬¬nya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu han¬cur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) da¬ri patung-patung yang lain; agar mereka kembali (un¬tuk ber¬tanya) kepadanya.” (al-Anbiyaa` [21]: 57-58)

Nabi Ibrahim a.s. menghancurkan semua berhala batu tersebut, kecuali yang terbesar, yang jadi sosok pujaan kaum¬nya, karena mereka anggap memiliki kekuatan besar. Tidak la¬ma kemudian, kaumnya datang menghampiri Nabi Ibrahim dalam keadaan marah,

“Mereka bertanya, ‘Kamukah yang melakukan pebuatan ini ter¬hadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang me¬lakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata, ‘Sesung¬guh¬nya, kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (di¬ri sendiri).’” (an-Anbiyaa` [21]: 62-64)

Dengan mencermati ayat-ayat bersangkutan secara menyelu¬ruh, nyatalah bahwa Nabi Ibrahim a.s. mewujudkan rencana be¬liau secara bertahap dengan sangat bijaksana. Hasil¬nya, beliau mendapatkan apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya, ka¬umnya yang memuja berhala mulai menyadari bahwa patung satu-satunya yang tersisa tidak punya kemampuan untuk me¬no¬long mereka. Patung besar ini, seperti juga berhala yang la¬in¬nya yang sudah hancur berantakan, tak lebih dari ke¬ping¬an batu yang tak bisa melihat, mendengar, atau ber¬bi¬ca¬ra. Lebih penting lagi, batu-batu itu tidak mampu me¬lin¬dungi diri mereka sendiri. Inilah pesan yang sesungguhnya disampaikan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya: Jauhi pe¬nyem¬bah¬an batu dan sembahlah Allah, sang Maha Pencipta seluruh alam raya.
Nabi Ibrahim a.s. telah menganalisis kemungkinan-kemung¬kinan yang mungkin timbul dan mendapatkan hasil yang di¬harapkan. Tamsil ini, bersama dengan banyak contoh serupa yang terhampar di dalam Al-Qur`an, menandaskan bahwa memperhitungkan situasi lingkungan serta sisi psikologis ma¬nu¬sia agaknya cukup efisien untuk mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki. Orang-orang beriman yang bijak lestari se¬¬lalu memperhitungkan pelaksanaan satu tugas, tahap demi tahap, dan dengan cermat mempertimbangkan faktor dan elemen yang bakal membawa hasil jangka panjang. Sementara itu, tin¬dakan-tindakan berlandaskan Al-Qur`an yang mereka wujudkan, sebagaimana juga inisiatif yang mereka prakarsai untuk tu¬juan baik, tidak akan membawa kerugian di kemudian hari.

Sahabat Andalan
Sebelum pergi menemui Fir’aun untuk menyampaikan pesan Allah, Nabi Musa a.s. meminta persetujuan Allah agar mengizin¬kan saudaranya, Harun a.s., untuk menyertainya, seperti dapat kita baca dalam ayat berikut,

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluarga¬ku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia ke¬kuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, su¬pa¬ya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak meng¬ingat Engkau. Sesungguhnya, Engkau Maha melihat (ke¬ada¬an) kami.” (Thaahaa [20]: 29-35)

Sebagaimana penjelasan ayat-ayat itu, adalah bijaksana untuk mendapatkan sahabat andalan bila menghadapi satu tugas penting. Sesungguhnya, Allah mengabulkan do’a ini. Ayat ber¬ikut menegaskan manfaat-manfaat lahiriah dan batiniah dari keikutsertaan teman andalan,

“Allah berfirman, ‘Kami akan membantumu dengan saudara¬mu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang be¬sar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu ber¬dua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.’” (al-Qashash [28]: 35)

Bila orang-orang beriman berpegang pada metode ini, me¬¬reka dapat saling menolong bila salah seorang dari mereka ga¬gal atau keliru. Di samping itu, sudah menjadi fakta, ada¬¬lah lebih mudah bagi dua insan beriman untuk terus memelihara keadaan mengingat kepada Allah, sebab mereka dapat saling mengingatkan terhadap tugas ini manakala pikiran sa¬¬lah seorang dari mereka mulai bimbang. Ini satu rahasia lain yang diungkapkan ayat tersebut.
Tentu saja, masih banyak manfaat lain yang dapat diraih dari kehadiran sahabat andalan. Keberadaan insan ber¬iman la¬innya di sisi seseorang dapat menjamin keamanan mereka, se¬bab orang yang abai meramalkan suatu bahaya mungkin bisa di¬selamatkan oleh tindakan teman pendamping untuk mencegah ri¬siko yang mungkin menerpa.

Pembagian Tugas
Allah bersumpah atas sejumlah hal di dalam Al-Qur`an un¬tuk menekankan pentingnya hal-hal tersebut untuk diperhatikan. Salah satunya mengenai pembagian tugas.
Dengan bersumpah demi, “(malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,” (adz-Dzaariyaat [51]: 4) Allah menegas¬kan manfaat dari perkongsian. Dengan mematuhi nasihat ini, agar mendistribusikan kerja di antara orang-orang beriman, banyak waktu dapat dihemat dan memungkinkan mereka me¬nye¬le¬sai¬kan tugas lebih cepat tinimbang di kerjakan seorang di¬ri. Ternyata, satu tugas yang memerlukan sepuluh jam untuk di¬se¬le¬sai¬kan satu orang dapat diselesaikan dalam hanya satu jam ji¬ka sepuluh orang dilibatkan di dalamnya.
Keuntungan lain adalah tercapainya kualitas hasil akhir yang lebih ting¬gi. Dari kerja sama semacam ini, tiap peserta dapat mengambil kearifan, pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dari mereka yang turut serta dalam pekerjaan tersebut.
Sebagai tambahan, manakala sejumlah orang dilibatkan da¬lam pelaksanaan suatu tugas, kesalahan dan kekeliruan poten¬si¬al dan kerusakan, yang acap timbul dari ketergesa-gesaan, bisa banyak dikurangi.
Dalam masyarakat tidak beriman, orang umumnya cenderung memonopoli satu pekerjaan untuk diri sendiri dan tidak per¬lu berkongsi dengan orang lain; tujuannya agar semua peng¬hargaan dan imbalan yang diberikan oleh mereka yang me¬nik¬mati hasil pekerjaan itu menumpuk pada si pemborong sen¬diri. Pembagian kerja dapat menghapus kerakusan semacam itu dan melenyapkan keinginan jelek untuk memborong keuntungan da¬ri keberhasilan suatu proyek. Betapapun, suksesnya sebuah pro¬yek tak lepas dari keikutkesertaan kebijakan, penge¬ta¬hu¬an, dan pengalaman sejumlah orang, sehingga tak seorang pe¬ser¬ta pun berhak menyombongkan diri sabagai orang yang pa¬ling besar andilnya. Sesungguhnya, orang-orang beriman ti¬dak¬lah mencari-cari superioritas diri, sebab segala sesuatu yang mereka inginkan adalah kesenangan Allah swt. atas amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Pembagian kerja juga mendatangkan manfaat lain: bekerja secara kolektif untuk keperluan bersama akan mempererat per¬sahabatan, persaudaraan, dan kesetiaan sesama peserta. Bah¬kan, lebih dari itu, kerja sama memungkinkan seseorang me¬ngenal keindahan dan keahlian orang lain dan menepis nafsu serakah dari kalbu orang bersangkutan, dan akhirnya mem¬buat dia jadi orang sederhana (moderat).
Bekerja bersama untuk mendapatkan kesenangan Allah mem¬buat para peserta merasa saling dihargai, disenangi, dan ber¬¬bakti, karena suasana yang melandasi kerja semacam itu. Ti¬ap upaya yang mereka kedepankan untuk memenuhi tugas yang diemban mencerminkan cinta dan pengabdian kepada Al¬¬lah. Menyadari kenyataan ini adalah faktor lain yang menyuburkan persaudaraan di kalangan orang-orang beriman.
Malam untuk Beristirahat, Siang untuk Bekerja
Al-Qur`an menyatakan siang hari adalah waktu untuk ber¬aktivitas, sementara malam hari lebih baik dimanfaatkan un¬tuk istirahat. Ayat yang berkenaan dengan hal itu adalah,

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu ber¬¬istirahat padanya dan (menjadikan) siang terang ben¬derang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguh¬nya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus [10]: 67)

Dengan meneliti tubuh manusia ter¬ung¬kaplah bahwa metabo¬l¬isme tubuh sudah diatur supaya beristirahat waktu malam dan bekerja pada siang hari. Kala mentari mulai terbenam, ke¬¬lenjar otak, yang berada di landasan otak, mulai mem¬ben¬dung melatonin. Ini membuat orang jadi kurang siaga. Fung¬si ker¬ja otak menurun dan suhu badan anjlok. Semua reaksi tu¬buh terhadap kegelapan akhirnya merendahkan produktivitas se¬seorang.
Dengan munculnya waktu fajar, peringkat melatonin berku¬rang dan hormon-hormon diaktifkan. Sementara itu, suhu ba¬dan meningkat dan fungsi-fungsi otak mencapai tingkat mak¬simum. Faktor-faktor ini memberi sumbangan pada kesiagaan, perhatian, dan produktivitas seseorang. Fakta-fakta se¬per¬ti ini membawa kearifan seperti yang disebutkan dalam ayat,
“Allah menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar