Jumat, 13 April 2012

Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan

Pernahkah Anda mendengar cerita tentang anak yang sudah bisa berjalan di usianya yang ke tujuh bulan? Memakai sepatu dan menyanyikan lagu-lagu di usianya yang keempat belas bulan? Juga bersekolah di usia delapan belas bulan? Dan percayakah Anda jika cerita ini adalah cerita nyata? Bayi itu bernama Aulia Valeda Charnen, anak dari pasangan suami-istri Yotho Chardiana dan Sri Mulyaningsih. Ia masuk dalam rekor MURI sebagai bayi termuda yang bisa berjalan.

Rahasia dari semua ini adalah stimulasi (rangsangan) yang diberikan oleh orangtua Aulia ketika ia masih berada di dalam kandungan. Stimulasi itu meliputi empat jenis: (1) relaksasi, (2) memperdengarkan musik klasik, (3) membaca shalawat dan Alqur’an, serta (4) berpuasa Daud (sehari puasa, sehari tidak)

Dengan empat jenis stimulasi tersebut, bayi lahir dengan ciri-ciri super. Di antaranya, pada usia 1 minggu ia sudah bisa mengangkat kepala sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Pada usia dua bulan, sudah bisa tengkurap sendiri dan mengangkat kepala. Usia empat bulan sudah bisa duduk tanpa bantuan. Usia lima bulan, sudah bisa berdiri. Usia enam bulan sudah bisa berjalan merambat. Usia tujuh bulan sudah bisa berjalan dengan sempurna. Usia sepuluh bulan sudah tertarik pada alat-alat tulis dan main corat-coret. Usia empat belas bulan sudah bisa memakai sepatu dan menyanyikan lagu-lagu, tidak saja lagu-lagu anak, juga lagu-lagu dewasa. Usia enam belas bulan sudah sangat kritis, sehingga sering mengkritik orangtuanya. Dan, usia delapan belas bulan sudah sekolah.

Banyak orangtua terutama ibu-ibu muda yang mendambakan anaknya bisa secerdas BJ. Habibie, Thomas Alva Edison, Einstein, Issac Newton, dan penemu-penemu serta ilmuwan terkenal lainnya. Juga banyak yang berharap supaya anaknya bisa menjadi ahli hadits seperti Imam Bukhari, ahli tafsir seperti Abdullah Ibn Abbas, jago Fiqh seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik, dan ulama-ulama legendaris lainnya. Namun sayang, para orangtua ini tidak tahu bagaimana cara mencerdaskan anak-anak mereka. Pendidikan yang mereka berikan kepada buah hati mereka adalah hasil transferan dari pendidikan yang mereka terima dari leluhur. Sebagaimana mereka dididik maka seperti itu pulalah mereka mendidik tanpa mau menambah ilmu dengan bertanya dan membaca buku-buku psikologi dan pendidikan anak.

Untuk mencerdaskan anak dan menjadikan mereka bagian dari generasi qur’ani yang cerdas, tentu tak cukup dengan menyekolahkan anak di play group, kemudian di usia SD mereka didaftarkan di sekolah unggulan, plus memberikan banyak les-les tambahan serta menyediakan segala fasilitas untuk mereka. Selain perhatian dan pendidikan setelah anak lahir, yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan ketika anak masih berada dalam kandungan. Mendidik anak sejak dalam kandungan adalah cara mudah dan murah untuk mencerdaskan anak tanpa harus banyak mengeluarkan biaya, dan tanpa harus menunggu sampai anak menginjak usia sekolah.

Mungkin sebagian orang ada yang tidak percaya bahwa anak, atau lebih tepatnya lagi janin yang berada di dalam perut ibunya bisa mengikuti pelajaran dan stimulasi yang diberikan. Namun keraguan ini dapat kita hilangkan dengan menyimak beberapa penelitian yang dilakukan para ilmuwan Barat dalam bidang perkembangan pralahir. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama berada dalam rahim, anak dapat belajar, merasa, dan mengetahui perbedaan antara gelap dan terang. Pada saat kandungan itu telah berusia 20 minggu, kemampuan janin untuk merasakan stimulus telah berkembang dengan cukup baik, sehingga proses pendidikan dan belajar dapat dimulai.

Dalam buku Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, tulisan F. Rene van de Carr, M.D. dan Marc Lehrer, Ph.D., ditegaskan bahwa beberapa kebiasaan baik yang dibentuk secara konsisten oleh ibu-ibu hamil pada dirinya dan bayinya selama kehamilan dapat mengurangi pelbagai kesulitan yang mungkin timbul ketika sang anak sudah lahir ke dunia. Secara teratur memperdengarkan irama musik tertentu (bisa diganti dengan memperdengarkan suara murattal Al-Qur’an), kemudian bercerita dan berdendang untuk si jabang bayi dalam kandungannya, atau melakukan relaksasi, akan memungkinkan ibu-ibu hamil bisa menjalin komunikasi dan membina hubungan positif dengan bayinya.

Menurut F. Rene van de Carr, M.D. dan Marc Lehrer, Ph.D., The American Association of The Advancement of Science pada tahun 1996 telah merangkum hasil penelitian sejumlah ilmuwan dalam bidang stimulasi pralahir atau bayi, antara lain sebagai berikut: Pertama, Dr. Craig Ramey dari University of Alabama menegaskan bahwa program-program stimulasi dini meningkatkan nilai tes kecerdasan dalam pelajaran utama pada semua anak yang diteliti dari masa bayi hingga usia 15 tahun. Anak-anak tersebut mencapai nilai kecerdasan 15 hingga 30 persen lebih tinggi. Kedua, Dr. Marion Cleves Diamond dari University of California, Berkeley, AS melakukan eksperimen bertahun-tahun dan mendapatkan hasil yang sama berulang-ulang bahwa tikus yang diberi stimulasi tidak hanya mengembangkan pencabangan sel otak lebih banyak dan daerah kortikal otak yang tebal, tetapi juga lebih cerdas dan lebih terampil bersosialisasi dengan tikus-tikus lain. Ketiga, Dr. Hugo Moser dari John Hopkins University telah melaporkan penelitiannya terhadap monyet-monyet Rhesus tanpa stimulasi. Hasilnya adalah cacat perilaku yang mencolok dan menyedihkan saat mereka dewasa. Mereka menjadi kikuk, menyiksa diri sendiri dan menarik diri dari kontak sosial dengan monyet-monyet lain dan menunjukkan setiap tanda kecerdasan terbatas.

The Prenatal Enrichment Unit di HuaCchiew General Hospital di Bangkok, Thailand yang dipimpin oleh Dr. C. Panthuraamphorn, telah melakukan penelitian yang sama terhadap bayi pralahir, dan hasilnya disimpulkan bahwa bayi yang diberi stimulasi pralahir akan cepat mahir bicara, menirukan suara, menyebutkan kata pertama, tersenyum secara spontan, mampu menolehkan kepala ke arah suara orangtuanya, lebih tanggap terhadap musik, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik saat ia dewasa.

Demikian juga riset yang dilakukan oleh Prof. Suzuki dari Jepang, sebagaimana pernah dimuat dalam harian The Japan Times Weekly Education, bahwa stimulus yang diberikan terhadap janin sangat terkait dengan tingkat intelegensi anak. Jadi, sejak masih dalam kandungan, anak sebenarnya telah siap merespon stimulasi-stimulasi edukatif yang diberikan kedua orang tuanya, terutama oleh ibunya.

Selain cerita tentang Aulia dan segala kecerdasannya, saya juga punya cerita lain yang berkaitan dengan kecerdasan dan kelebihan anak yang distimulasi sejak dalam kandungan. Ayyasy Ar-Rantisi adalah salah satu anak yang beruntung karena mendapatkan stimulasi sejak ia masih berstatus janin. Stimulasi yang ia dapatkan adalah mendapatkan elusan dan tilawah Alqur’an sesering mungkin, mendengarkan burdah, kemudian materi berikutnya adalah sirah 25 Nabi dan Rasul, lagu-lagu anak (seperti lagu balonku, bintang kecil, pelangi dll), hadits-hadits pendek, sains untuk anak dan terakhir ditutup dengan burdah. Satu paket pelajaran itu biasanya selesai dalam waktu singkat, antara 15 sampai 30 menit. Itu dilakukan setiap pagi, sekitar jam 09.00 WIB, dimulai sejak ia berusia 4 bulan dalam kandungan.

Hasilnya sungguh sangat memuaskan. Ketika lahir Ayyasy tidak banyak menangis dan lebih relaks, lebih gesit, matanya lebih waspada, dan punya kode khusus untuk memberitahukan bahwa ia ingin ganti popok (kalau ia risih dengan popoknya yang basah atau terkena eek-nya, Ayyasy akan menangis dengan suara yang kedengaran seperti berbunyi “eh-ah…eh-ah). Ayyasy juga memiliki rentang perhatian yang lebih lama dan lebih fokus pada gambar-gambar yang ditunjukkan padanya, (ketika Ayyasy berusia 3 bulan ia kami bacakan buku cerita, dan ia kelihatan begitu menyukai gambar-gambar yang ada di buku tersebut. Cerita kesukaannya adalah Kelinci dan Harimau, dan ia sangat pandai menirukan suara auman harimau).

Selain itu, di usianya yang keenam bulan, ia sudah bisa menyebut “umi”, panggilannya kepada saya. Sering ketika ia menangis suara yang keluar tidak hanya sekedar suara tangisan bayi biasa, tapi merupakan bunyi “ummi, ummi…” Di usianya yang ketujuh bulan ia sudah bisa menyebut “am” untuk mengatakan bahwa ia mau makan. Sering jika ia saya beri makan di waktu yang saya kira ia lapar, ia tak menghabiskan makanannya. Tapi jika ia diberi makan setelah menyebut “am” berulang-ulang, pasti ia akan makan dengan lahap.

Huruf ‘r’ biasanya menjadi huruf terakhir yang bisa dikuasai anak. Namun Ayyasy pernah memperdengarkan ‘r’ nya dalam bentuk suara “brr…” ketika ia berusia 10 bulan. Bahkan ketika ia berusia setahun ia pernah mengikuti ucapan abinya yang mengucapkan “kuring’, dan huruf ‘r’ nya sangat jelas terdengar.

Kalau balita banyak yang takut dengan gelap, maka itu tak berlaku pada Ayyasy, karena ia kami biasakan tidur dalam kamar yang gelap sejak ia berusia 6 bulan. Hasilnya, seringkali ketika kami terbangun tengah malam, kami mendapatinya sedang bermain sendiri, tanpa tangisan. Bahkan ketika terkadang listrik tiba-tiba padam, tak ada reaksi negatif yang ditunjukkan oleh Ayyasy. Ayyasy juga tak pernah takut dengan binatang. Ia menunjukkan minat yang sangat baik terhadap binatang-binatang piaraan dan binatang buas, seperti kucing, burung, bebek, kambing, sapi, harimau, serigala, singa dsb. Kalau ada anak kecil yang menangis dan menjerit ketika didatangi seeokor kucing, maka Ayyasy justru menangis karena si kucing tidak mau mendekat.

Sebenarnya masih banyak lagi cerita-cerita mengagumkan tentang Ayyasy, yang Alhamdulillah sempat merasakan “sekolah dalam perut”. Dan saya yakin, ada begitu banyak cerita menakjubkan dari anak-anak lain yang juga berkesempatan menjadi murid sebelum terlahir ke dunia.

Bagi para ibu yang merencanakan hamil, sedang hamil, atau gadis yang punya calon keponakan, stimulasilah bayi Anda sejak dini agar generasi qur’ani yang jenius terlahir dari rahim Anda, biidznillah. Wallahul musta’an.


Oleh: Ummu Ayyasy Ar-Rantisi